Jakarta (6/11) – Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) semakin menunjukkan kiprah nyata dalam memperjuangkan keadilan sosial dan ekologis di tingkat nasional. Menteri Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Natalius Pigai, merespons cepat laporan yang disampaikan Ompu i Ephorus HKBP, Pdt. Dr. Victor Tinambunan, M.Th, mengenai dugaan pelanggaran HAM oleh PT. Toba Pulp Lestari (TPL) di wilayah Tapanuli, Toba, dan sekitarnya.
Pertemuan strategis ini berlangsung di Kantor Kementerian HAM RI, Jakarta, dihadiri oleh para Praeses HKBP dari Distrik XIX Bekasi, VIII DKI Jakarta, XXI Banten, dan XXVIII Deboskap. Turut mendampingi pula Ketua Badan Penasehat Hukum HKBP, Dr. David M. L. Tobing, S.H., M.Kn.
Dalam pertemuan tersebut, Ephorus HKBP menyerahkan laporan berisi dokumentasi, kesaksian masyarakat adat, serta peta konflik lahan akibat ekspansi industri PT. TPL. Beliau menegaskan, gereja tidak hanya hadir dalam ruang ibadah, tetapi juga terpanggil untuk menyuarakan penderitaan masyarakat yang kehilangan hak atas tanah dan lingkungan hidup yang layak.
“HKBP tidak bisa tinggal diam melihat penderitaan masyarakat yang terusir dari tanah ulayatnya. Gereja harus menjadi suara bagi mereka yang terpinggirkan, sekaligus penjaga ciptaan Tuhan yang kini terluka,” ujar Ephorus Tinambunan.
Menanggapi hal itu, Menteri HAM Natalius Pigaimenegaskan bahwa pemerintah memiliki kewajiban memastikan semua korporasi beroperasi sesuai prinsip Hak Asasi Manusia.
“Perusahaan wajib memenuhi delapan aspek HAM, termasuk hak atas lingkungan hidup yang sehat dan hak masyarakat adat. Negara tidak boleh menutup mata terhadap praktik bisnis yang menindas warga,” tegas Pigai.
Sebagai langkah konkret, Menteri HAM akan segera membentuk Tim Investigasi Khusus untuk menelusuri dugaan pelanggaran HAM oleh PT. TPL. Tim tersebut akan bekerja lintas kementerian, melibatkan lembaga negara, masyarakat sipil, dan gereja.
“Kami akan turun langsung ke lapangan. Setiap laporan akan diverifikasi, dan hasilnya akan menjadi dasar tindakan hukum,” tambah Pigai.
Langkah ini disambut positif oleh HKBP. Dr. David Tobingmenyampaikan komitmen gereja untuk menyerahkan seluruh data lapangan dan mengawal proses investigasi hingga keadilan bagi masyarakat adat benar-benar terwujud.
“Gereja tidak hanya menyampaikan suara moral, tapi juga menghadirkan data dan solusi. HKBP siap bekerja sama dengan negara untuk menegakkan keadilan,” ujarnya.
Pernyataan Natalius Pigai dalam video publiknya di kanal YouTube menegaskan sikap moral di balik tindakan tersebut:
“Untuk apa PT Toba Pulp Lestari ada kalau tak beri manfaat bagi masyarakat?” katanya dengan nada tegas. “Kita lihat di lapangan, masyarakat adat terusir, lingkungan rusak, tapi perusahaan tetap eksis. Ini yang tidak boleh.”
Pernyataan ini mencerminkan inti pandangan Pigai bahwa keberadaan perusahaan harus memberi manfaat nyata bagi manusia dan alam, bukan sekadar keuntungan ekonomi. Ia menilai bahwa hak atas lingkungan hidup dan hak masyarakat adat adalah fondasi moral negara yang tidak bisa dikorbankan atas nama pembangunan.
Temuan lapangan dari KSPPM (21 Juli 2025) juga memperkuat laporan HKBP, mencatat adanya penolakan luas masyarakat adat terhadap ekspansi PT. TPL yang menyebabkan kerusakan hutan, kriminalisasi warga, dan hilangnya ruang hidup tradisional.
“Perlawanan masyarakat adalah perjuangan mempertahankan martabat dan identitas mereka,” tulis KSPPM.
Pertemuan ini menandai babak baru hubungan HKBP dengan pemerintah pusat—sebuah langkah menuju sinergi antara gereja, negara, dan masyarakat untuk memastikan bahwa pembangunan nasional berlandaskan keadilan ekologis dan penghormatan terhadap martabat manusia.








