Renungan Harian HKBP (Khotbah Epistel) | 29 Oktober 2023

Kitab Ulangan merupakan pidato perpisahan Musa ketika Israel akan memasuki Kanaan. Di Kitab ini, Musa memperbaharui perjanjian Allah dengan Israel, yaitu generasi yang lahir sepanjang perjalanan, yang tidak lagi mengenal Paskah, terbelahnya Laut Merah. Karena semua generasi yang berangkat dari Mesir, selain Yosua dan Kaleb tidak diperkenankan Tuhan memasuki Tanah Kanaan. Musa juga tidak diperkenankan memasukinya karena peristiwa Meriba (Imamat 20, 1 – 13; Ulangan 1, 37; 32, 51-52). Karena itu kepada mereka perlu diceritakan kembali tentang perjanjian dan Taurat Allah, dan sebuah pernyataan baru tentang berkat yang akan mereka terima bila mereka taat melakukan perintah Tuhan, dan akan menerima kutuk bila mereka tidak menaatinya. 

Setelah menyampaikan pidato tsb, Musa menahbiskan Yosua (psl. 31). Dialah yang ditetapkan Allah menggantikan Musa. Setelah hukum Taurat itu dituliskan Musa, maka diberikannyalah kepada imamimam bani Lewi. Setelah itu menyanyikan nyanyian Musa (psl. 32). Lalu Musa memberkati suku-suku Israel (psl. 33). Kemudian, Tuhan menyuruh Musa naik ke atas gunung Nebo (psl. 32, 48. Di sanalah Tuhan menunjukkan Tanah Kanaan kepadanya, hanya melihat, tidak diperkenankan memasukinya. Dan ada yang mengaitkannya dengan peristiwa transfigurasi di Matius 17, 3 dengan mengatakan: bertahun-tahun kemudian Musa memasukinya (tanah Kanaan ketika dia muncul di Gunung Pemuliaan dan berbicara dengan Yesus. 


Lalu, di ayat 5 dikatakan, matilah Musa. Para penafsir mengaitkan hal kematian Musa ini dengan “Siapakah penulis Kitab Ulangan ini”, dan para ahli sampai hari ini masih belum sepakat. Ada yang mengatakan, tidak mungkinlah Kitab Ulangan ini dituliskan oleh Musa, karena tidak mungkin Musa bisa menuliskan tentang kematiannya. Namun, banyak juga ahli mengatakan, bahwa Kitab Ulangan ini ditulis langsung oleh Musa yang diselesaikannya menjelang kematiannya sekitar tahun 1405 seb Masehi. Dan kemudian, kisah kematiannya dituliskan (kemungkinan besar oleh Yosua) tidak lama sesudah Musa meninggal sebagai bentuk penghargaan yang layak bagi Musa, hamba Tuhan itu. Dan tidak ada orang yang tahu kuburnya. Penafsir mengatakan, Tuhan yang mengurus mayat hambaNya itu. Itu disengaja agar jangan sampai Israel, yang begitu condong pada penyembahan berhala, sampai mengkeramatkan dan menyembah mayat Musa karena dianggap sebagai orang paling berjasa bagi bangsa Israel. Di Yudas 1, 9 dikatakan, Mikhael punghulu malaikat bertengkar dengan iblis tentang mayat Musa. 


Musa meninggal di usia 120 tahun. Walaupun masih jauh lebih sedikit dari leluhurnya, namun jauh melebihi umur kebanyakan orang pada zamannya yang sudah diperpendek menjadi sekitar 70 tahun (Mazmur 90, 10). Angka 120 adalah 3 x 40. Empatpuluh tahun pertama adalah ia hidup sebagai orang istana, nyaman dan terhormat di istana Firaun. Empat puluh tahun kedua dilewatkannya sebagai gembala miskin dan terasing di Midian. Empat puluh tahun ketiga ia hidup memimpin Israel keluar dari Mesir menuju Tanh Kanaan dengan banyak kesusahan dan kerja keras. Dan hingga di umur itu, matanya belum kabur, dan kekuatannya belum hilang. Sebaliknya dia masih mampu berbicara, menulis dan berjalan menaiki Gunung Nebo. Kata penafsir, itulah hasil dari hidupnya yang penuh kelembutan hatinya yang luar bisa.

Setelah Musa meninggal, Israel menangisinya selama 30 hari (ay. 8). Itu hal wajar, bila kita menangisi orang meninggal yang telah berjasa. Demikian dengan Israel. Mereka meratap ketika Musa diambil dari mereka, walau ketika masa hidup Musa mereka sering tidak tahu menghargainya bahkan sering menyusahi Musa. Mereka berkabung selama 30 hari. Biasanya, hari perkabungan di Israel adalah 7 (tujuh) hari (Kej. 50, 10; 1 Sam. 31, 13). Tetapi, masa perkabungan bagi Musa dan Harun selama 30 hari. Ini mensyaratkan bahwa sebesar apa pun rasa kehilangan yang kita rasakan, kita tidak boleh larut dalam kesedihan yang berkepanjangan. Kita harus membiarkan kesedihan itu terkikis seiring berjalannya waktu. Ketika kami melakukan kebaktian penghiburan bagi keluarga pendeta yang meninggal tiba-tiba tiga minggu sebelumnya, isteri yang ditinggalkan yang masih terus menangis mengatakan: “Maaf, biarkanlah saya dulu terus menangis selama 30 hari ini, karena itulah kata Alkitab; setelah itu saya tidak mau menangis lagi”. Bila kita tetap berharap bahwa perjalanan kita dan kekasih hati kita yang meninggal adalah menuju sorga, tidaklah layak bersedih berlarut-larut, tetapi harus segera digantikan oleh sukacita dan ketegaran.

Di ayat 10 – 12 kita mendapati kata-kata pujian penuh hormat yang diberikan baik kepada Musa. Itulah selayaknya, kita harus menghormati jasa-jasa mereka yang telah tiada. Musa dipuji-puji karena perbuatannya yang baik, sehingga tidak akan ada lagi muncul nabi yang seperti dia, karena keistimewaannya, yaitu: 

Pertama, “yang dikenal TUHAN dengan berhadapan muka” (ay. 10a). Musa akrab dengan Tuhan. Di Bilangan 12:8 Tuhan mengatakan: “Berhadap-hadapan Aku berbicara dengan dia, terus terang, bukan dengan teka-teki, dan ia memandang rupa Tuhan”. Musa diperbolehkan berhadapan muka dengan muka Allah dan dia tidak mati, Musa menjumpai Allah dengan lebih bebas dan lebih sering, dan kepadanya Allah berbicara bukan dalam mimpi, dalam penglihatan, melainkan ketika ia sedang terjaga dan berdiri di hadapan para kerub. Nabi-nabi lain ditimpa ketakutan yang besar ketika Allah menampakkan diri dan berbicara kepada mereka (Dan. 10,7), tetapi Musa, tetap bersikap tenang. Dengan berhadapan muka dengan muka, Allah memberikan, mempercayakan Hukum Taurat kepada Musa yang berisikan hukum dan perintah Tuhan untuk dituruti manusia sehingga mereka selamat. Sama seperti yang dikatakan Paulus di Epistel tadi (1 Tessalonika 2, 1 – 8), kepadanya juga Tuhan mempercayakan tugas mengabarkan Injil agar manusia menerimanya dan selamat. Dan Tuhan Yesus sangat sering mengutip Hukum Taurat ini. Bahkan Yesus datang untuk menggenapinya. 

Kedua, “dalam hal segala tanda dan mujizat, yang dilakukannya atas perintah TUHAN di tanah Mesir terhadap Firaun dan terhadap semua pegawainya dan seluruh negerinya, dan dalam hal segala perbuatan kekuasaan dan segala kedahsyatan yang besar yang dilakukan Musa di depan seluruh orang Israel” (ay. 11 – 12). 

Dengan menggunakan kuasa Allah, Musa melakukan penghukuman bagi Firaun dengan kesepuluh tulah. Dia mendapat kuasa dari Allah untuk melakukan banyak tanda mujizat selama 39 tahun, seperti membelah Laut Merah, manna, burung puyuh, air dari batu, dlsb. Belum pernah ada orang Israel mendapat kuasa sebesar itu. Hanyalah Tuhan Yesus, Anak Allah, yang bisa “melebihi” kekuasaan mujizat itu. Oleh karena itu, mari kita dengan rendah hati meneladani Musa, yang dengan penuh kerendahan hati, mau taat kepada Allah. Amin.

Pdt. Rostetty Lumbantobing, S.Th – Kabiro Ibadah Musik HKBP

Pustaka Digital